ANTARAYA MEDIA, KUTIM – Dusun Sidrap kembali menjadi titik pembahasan utama dalam dinamika tapal batas antara Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab Kutim) dan Pemerintah Kota Bontang.
Dalam Rapat Koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kutim yang digelar di Pengadilan Negeri Sangatta, Kamis (24/7/2025), isu administratif itu mencuat sebagai pokok pembahasan utama.
Pertemuan yang rutin digelar tiap bulan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kutim tersebut, kali ini berfokus pada dugaan klaim sepihak Pemkot Bontang atas wilayah Dusun Sidrap, sebuah kawasan strategis yang secara administratif berada di bawah Kecamatan Teluk Pandan, Kutim, namun diklaim sebagai bagian dari Bontang melalui pemasangan plang RT “Wilayah Bontang”.
Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman, dengan tegas menolak klaim tersebut. Dalam forum Forkopimda yang turut dihadiri unsur TNI, Polri, Kejaksaan, hingga perwakilan Lanal, ia menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang membenarkan upaya penandaan wilayah Sidrap sebagai bagian dari Bontang.
“Sudah beberapa kali kami berdialog dengan Pemerintah Bontang. Kesimpulannya tetap, Dusun Sidrap masuk wilayah Kutai Timur,” ujar Ardiansyah.
Sebagai bentuk ketegasan, Pemkab Kutim bahkan telah menginstruksikan pencabutan seluruh plang RT yang mencantumkan nama Bontang di kawasan Sidrap.
Menurut Ardiansyah, langkah ini penting untuk menjaga kejelasan batas administratif dan kedaulatan wilayah, sekaligus menghindari potensi konflik horizontal di masyarakat perbatasan.
Selain isu klaim wilayah, Rapat Forkopimda juga menyoroti upaya konkret yang telah dilakukan Pemkab Kutim dalam menata kawasan perbatasan. Di Dusun Sidrap, pembangunan infrastruktur terus ditingkatkan.
Sebuah jembatan bailey yang menjadi akses vital kini telah difungsikan, dan sebuah sekolah dasar sudah berdiri serta menerima murid baru pada tahun ajaran ini.
Langkah lain yang mempertegas keberadaan hukum Kutim di wilayah ini adalah penyerahan sertifikat hak milik tanah kepada warga Dusun Sidrap dan sekitarnya di Desa Martadinata oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kepala BPN Kutim menekankan bahwa sertifikat tersebut sah secara hukum dan bukan bersifat pinjam pakai. Ini menjadi instrumen penting dalam memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi masyarakat.
“Yang kami jaga adalah kepastian hukum dan pelayanan masyarakat,” tegas Bupati Ardiansyah.
Meskipun isu batas wilayah kembali mengemuka, kehidupan warga Dusun Sidrap berlangsung seperti biasa. Mayoritas warga yang bekerja sebagai petani dan pekebun memilih untuk tidak terlarut dalam polemik administratif.
“Masyarakat di sana tidak terlalu mempermasalahkan klaim sepihak itu. Fokus mereka adalah bekerja dan bertani,” ujar Ardiansyah dalam konferensi pers usai rapat, didampingi unsur Forkopimda.
Tak hanya Sidrap, perhatian pemerintah juga diarahkan ke wilayah lain seperti Desa Suka Rahmat di Kecamatan Teluk Pandan. Daerah ini disebut masih memerlukan perhatian khusus, terutama dalam pembangunan hunian layak dan infrastruktur dasar.
Dalam bulan ini, Desa Suka Rahmat akan menjadi lokasi kegiatan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-125 yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan di kawasan tersebut.
Menurut Ardiansyah, penataan wilayah perbatasan memang menjadi tantangan besar mengingat luasnya wilayah Kutim. Oleh karena itu, pembangunan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, serta terus diiringi dengan koordinasi lintas daerah termasuk dengan Pemerintah Kota Bontang.
“Langkah penertiban juga kami lakukan, seperti mencabut plang-plang bertuliskan ‘Kota Bontang’ yang dipasang di wilayah Kutim. Ini bagian dari penegasan administratif dan perlindungan wilayah,” imbuhnya.
Rapat Forkopimda kali ini menegaskan kembali posisi strategis Pemkab Kutim yang tidak hanya berfokus pada kejelasan batas wilayah, namun juga pada peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah-daerah terluar.
Melalui pendekatan kolaboratif dan solutif, Kutim menunjukkan komitmennya dalam menjaga kedaulatan wilayah dan melindungi hak-hak warganya dari ketidakpastian administratif.
Persoalan tapal batas memang bukan hal baru, tetapi pengelolaan yang tidak bijak bisa berdampak serius terhadap pelayanan publik dan stabilitas sosial.
Dalam konteks inilah, langkah tegas, komunikasi antarpemerintah daerah, dan keberpihakan pada masyarakat menjadi kunci utama untuk memastikan konflik batas wilayah tidak berlarut. (hms)